Dr. Roni Faslah
Kepergian Sang Pemangku Adat
Pada Jumat sore pukul 17.45 WIB, dunia kemudian akhirat menjadi saksi berpulangnya seorang tokoh adat yang dihormati. Datuk Tanmangindo—atau yang akrab disapa Inyiak Indo—menghembuskan nafas terakhirnya di kediaman tercinta. Sosok yang telah mengabdikan hidupnya untuk menjaga kelestarian adat Minang ini dimakamkan pada Sabtu, 19 Juli 2025, dengan penuh kehormatan sesuai tradisi yang telah mengakar turun-temurun.
Agam- Filosofi "Adat Basandi Syarak, Syarak Basandi Kitabullah" kembali menjelma dalam kehidupan nyata ketika prosesi pergantian pemangku adat berlangsung di Jorong Arokandikir, Nagari Gadut, Kecamatan Tilatang Kamang, Kabupaten Agam. Seperti pepatah Minang yang mengalir indah: "Patah tumbuh, hilang berganti," demikianlah hakikat kepemimpinan adat yang tak pernah terputus di bumi Minangkabau.
Budaya Minang yang telah mengakar berabad-abad ini melahirkan tradisi unik yang memadukan kearifan lokal dengan nilai-nilai spiritual. Setiap daerah memiliki kekhasan budayanya sendiri, namun Minangkabau terkenal dengan harmoni sempurna antara adat dan agama—dua pilar yang tak dapat dipisahkan dalam kehidupan masyarakatnya.
Kepergian sang Datuk dari Suku Simabua ini bukan akhir dari sebuah kepemimpinan, melainkan awal dari pergantian estafet yang telah ditakdirkan. Sebagaimana filosofi Minang mengajarkan, setiap kepergian akan melahirkan kehadiran yang baru.
Ritual Sakral Penggantian Datuk
Imed, juru bicara Suku Simabua, menuturkan bahwa prosesi pergantian telah dimulai segera setelah pemakaman sang Datuk. "Kaum kami sibuk mempersiapkan segala keperluan untuk mengangkat pengganti yang layak," ungkapnya dengan penuh khidmat.
Pemilihan calon bukanlah perkara sembarangan. Tradisi Minang dengan tegas menetapkan bahwa yang berhak menjadi Datuk adalah mereka yang berasal dari garis keturunan mamak atau anak laki-laki dari kaum tersebut—sebuah sistem matrilineal yang telah terpelihara dengan sakral.
Setelah calon terpilih, dimulailah persiapan yang rumit namun penuh makna. Pakaian adat Datuk dengan segala kelengkapannya—keris yang berkilau, tongkat sebagai simbol kebijaksanaan, saluk (penutup kepala) yang megah—semua disiapkan dengan cermat. Tak ketinggalan pula uang adat yang diserahkan sesuai ketentuan yang telah diwariskan nenek moyang.
Pasambahan yang Memukau
Observasi di lapangan mengungkap kemegahan ritual yang dimulai selepas salat Zuhur. Puluhan Datuk dan penghulu adat berdatangan, menciptakan suasana yang begitu khidmat dan penuh wibawa. Mereka duduk bersila dalam formasi tradisional, siap melakukan pasambahan—sebuah seni bertutur yang memadukan kebijaksanaan, diplomasi, dan keindahan bahasa.
Pasambahan yang berlangsung adalah pertukaran kata-kata bijak dalam bentuk pantun dan pepatah adat Minang. Dialog ini bukan sekadar formalitas, melainkan unjuk kebolehan intelektual dan spiritual yang mencerminkan tingginya peradaban budaya Minang. Setiap kalimat yang terlontar sarat dengan filosofi mendalam, setiap pantun yang dilantunkan mengandung hikmah yang tak ternilai.
Perundingan berlangsung alot dan penuh nuansa. Dari belasan Datuk yang hadir, beberapa tampil sebagai juru bicara dari kedua belah pihak, menciptakan dinamika yang menegangkan sekaligus memukau. Inilah demokrasi ala Minang—musyawarah yang dibalut dengan kesantunan dan kearifan.
Penobatan Datuk
Puncak sakralitas terjadi ketika salah satu Datuk senior dengan penuh khidmat memakaikan saluk dan selempang kepada sang calon. Detik itu, seorang anggota masyarakat biasa bertransformasi menjadi pemimpin adat yang akan memikul tanggung jawab berat. Datuk yang baru dilantik kemudian berkeliling menyalami seluruh hadirin—sebuah simbol kerendahan hati sekaligus komitmen untuk melayani.
Prosesi penyerahan uang adat berlangsung dengan tata cara yang sangat teratur. Nama dan gelar dipanggil satu per satu, dan setiap Datuk dengan penuh kehormatan menyerahkan kontribusinya. Ritual ini bukan tentang materi, melainkan simbol pengakuan dan dukungan terhadap kepemimpinan yang baru.
Peran Kaum Perempuan Minang
Tak terlupakan peran kaum perempuan yang dengan setia menyiapkan jamuan sederhana namun penuh makna. Minuman dan penganan ringan disajikan—bukan kemewahan yang diutamakan, melainkan kehangatan silaturahmi dan penghormatan terhadap para tamu. Kesederhanaan ini justru mencerminkan nilai luhur budaya Minang yang mengutamakan substansi daripada kemegahan semu.
Epilog Tradisi
Prosesi ini bagaikan pernikahan dalam rumah tangga adat—penuh sakral namun belum sepenuhnya usai. Kelak akan diselenggarakan pesta yang lebih besar untuk memperkenalkan Datuk baru kepada masyarakat luas. Inilah tradisi pengangkatan raja kaum yang telah mengakar di Suku Simabua, sebuah warisan tak ternilai dari leluhur.
Setiap daerah di Minangkabau memiliki keunikan tersendiri dalam prosesi pengangkatan penghulu. Perbedaan antara daerah Darek dan Rantau menambah kekayaan khazanah budaya yang tak ternilai. Namun esensinya tetap sama: menjaga kontinuitas kepemimpinan adat yang bermartabat.
Di tengah arus modernisasi yang tak terbendung, tradisi seperti ini menjadi oasis yang mengingatkan kita akan akar budaya yang tak boleh dilupakan. "Patah tumbuh, hilang berganti"—filosofi sederhana yang mengandung kebijaksanaan mendalam tentang siklus kehidupan dan regenerasi kepemimpinan.
Inilah Minangkabau—ranah di mana adat dan agama berpadu harmonis, menciptakan peradaban yang tak lekang oleh waktu.