OKESINERGI.COM-Dialog Pucuk Adat Nagari Sikabu Lubuk Alung Ir.H.Bactiar Sultan, MT Datuk Panyalai, 17 Mei 2025
Gonjang ganjing, pro kontra tentang pensertifikatan tanah ulayat di Minangkabau tidak cukup penolakannya heboh dan cerita di lapau saja, tetapi perlu langkah- langkah konkrit dan kerja hukum yang jelas.
Soal penolakan pemangku adat, masyarakat adat dan cendikiawan pendukung kebudayaan Minangkabau sejatinya sudah ada kepastian hukum tertinggi negara.
Mestinya masyarakat Minang dapat mengambil pelajaran dan perbandingan dengan hasil perjuangan pemangku adat di Kuntu Provinsi Riau.
Kasus masyarakat Kuntu yang menggugat tanah ulayat yang dikuasai negara adalah contoh konkret dari konflik agraria antara masyarakat hukum adat dan pemerintah/korporasi. Ini berkaitan erat dengan Pasal 18B ayat (2) UUD 1945, yang menjamin pengakuan negara terhadap hak masyarakat adat atas tanah dan sumber daya alam mereka.
Masyarakat Adat Kuntu (di Kabupaten Kampar, Riau) menuntut pengakuan atas tanah ulayat (wilayah adat) yang menurut mereka telah dikuasai tanpa izin oleh negara atau perusahaan melalui HGU (Hak Guna Usaha).
Mereka menyatakan tanah tersebut telah mereka kelola secara turun- temurun, dan menjadi bagian dari identitas, ekonomi, dan hukum adat mereka.
Kasus ini mencerminkan konflik struktural antara hak adat dan hukum agraria formal negara.
Dasar Hukum Gugatan:
1.Pasal 18B ayat (2) UUD 1945: Negara mengakui masyarakat hukum adat dan hak-haknya “sepanjang masih hidup dan sesuai dengan prinsip NKRI.”
2.Putusan MK No. 35/PUU-X/2012:Menyatakan bahwa hutan adat bukan hutan negara, melainkan milik masyarakat adat.
3.UU No. 5 Tahun 1960 tentang Pokok-Pokok Agraria (UUPA): Mengakui hak ulayat, walaupun pelaksanaannya sering terbentur oleh penerbitan HGU kepada korporasi.
Tantangan yang Dihadapi Masyarakat Kuntu:
Belum ada pengakuan resmi terhadap komunitas mereka sebagai masyarakat adat menurut peraturan daerah.
Tanah ulayat terlanjur diberikan HGU kepada pihak ketiga tanpa persetujuan adat.
Minimnya perlindungan hukum terhadap tanah adat dalam praktik birokrasi pertanahan.
Apa yang Bisa Dilakukan Masyarakat Adat?
Mendorong Perda tentang pengakuan masyarakat adat – ini penting agar memiliki kekuatan hukum.
Mengajukan gugatan ke pengadilan atau Mahkamah Konstitusi.
Melibatkan Komnas HAM, WALHI, atau organisasi pendamping hukum.
Melakukan advokasi media dan gerakan sosial untuk mendapatkan dukungan publik.
KONSTITUSI NEGARA
Pasal 18B UUD 1945, yang mengatur pengakuan terhadap kesatuan masyarakat hukum adat dan keistimewaan daerah:
Bunyi Pasal 18B UUD 1945:
Ayat (1): “Negara mengakui dan menghormati satuan-satuan pemerintahan daerah yang bersifat khusus atau bersifat istimewa yang diatur dengan undang- undang.”
Ayat (2): “Negara mengakui dan menghormati kesatuan-kesatuan masyarakat hukum adat beserta hak-hak tradisionalnya sepanjang masih hidup dan sesuai dengan perkembangan masyarakat dan prinsip Negara Kesatuan Republik Indonesia, yang diatur dalam undang-undang.”
Penjelasan:
Ayat (1): Keistimewaan Daerah
Negara memberikan pengakuan konstitusional terhadap daerah yang memiliki karakteristik khusus atau istimewa, seperti:
Yogyakarta: memiliki status Daerah Istimewa karena sejarah kesultanan.
Aceh: memiliki otonomi khusus termasuk dalam penerapan hukum syariah.
Papua: diakui memiliki hak otonomi khusus karena kekhususan sosial-budaya dan historisnya.
Tujuannya: menjaga keutuhan NKRI dengan menghargai keanekaragaman daerah.
Ayat (2): Masyarakat Adat. Negara mengakui eksistensi masyarakat adat, seperti: Masyarakat adat Dayak, Baduy, Mentawai, dan lain-lain.
Hak-hak mereka dilindungi selama masih hidup (eksis), sesuai perkembangan zaman, dan tidak bertentangan dengan prinsip NKRI. Contoh hak: pengelolaan hutan adat, hukum adat, wilayah ulayat.
Implikasi Hukum dan Sosial:
Memberi dasar hukum bagi kebijakan otonomi khusus dan pengakuan adat. Mendorong legislasi seperti UU Desa, UU Masyarakat Adat, dan Perda-perda khusus.
Menyeimbangkan antara kesatuan nasional dan keragaman lokal.
Kesimpulan.
Kasus ulayat hutan Kuntu di Riau menjadi cermin penting bagi masyarakat adat Minangkabau dalam menghadapi isu pensertifikatan dan penguasaan tanah ulayat oleh negara maupun korporasi.
Perjuangan masyarakat Kuntu menunjukkan bahwa pengakuan hak adat atas tanah tidak cukup hanya bergema dalam diskusi adat atau di lapau, tetapi memerlukan kerja hukum, advokasi, dan rekognisi formal dari negara.
Konstitusi Indonesia, khususnya Pasal 18B UUD 1945, jelas memberikan landasan hukum untuk pengakuan terhadap masyarakat hukum adat dan hak-hak tradisionalnya, sepanjang masih hidup dan tidak bertentangan dengan prinsip NKRI. Namun dalam praktiknya, pengakuan ini kerap terhambat oleh tumpang tindih kebijakan agraria, dominasi kepentingan investasi, dan lemahnya implementasi di tingkat daerah.
Pelajaran penting dari Kuntu adalah bahwa perlawanan masyarakat adat yang disertai dasar hukum, dukungan lembaga, serta advokasi sosial yang terorganisir dapat menggugah kesadaran hukum dan mendorong pembaruan regulasi.
Oleh karena itu, masyarakat Minangkabau dan para pemangku adat perlu mengambil langkah proaktif: menyusun Perda pengakuan masyarakat adat, memperkuat kelembagaan nagari, dan membangun solidaritas hukum adat lintas daerah.
Dengan demikian, perjuangan mempertahankan tanah ulayat bukan hanya soal warisan leluhur, tetapi juga bentuk nyata dari memperjuangkan keadilan konstitusional, kedaulatan kultural, dan keberlanjutan masa depan adat.ds.ujsikabu@ 17052025.
Editor: RH